Pertanyaan :
Assalamu’alaikum ya ustadz...
Mohon
bimbingannya, ustadz. Saya sedang mengalami ‘krisis’ perkawinan.
Sebenarnya tidak ada masalah di antara saya dan pasangan. Tapi…kadang
saya merasa jenuh dengan pernikahan kami. Hingga suatu saat saya bertemu
dengan teman lama saya. Kami sering bincang2 memakai segala fasilitas
teknologi yg ada sekarang ini. Sebenarnya tidak ada apa2 diantara kami
(saya dan teman saya itu). Karena diapun sudah berkeluarga, seperti
saya. Tapi pada akhirnya, kadang, terselip juga rasa “yang lain”
terhadapnya.
Saya tidak mau menghianati suami saya, juga tidak ingin
meninggalkannya. Tapi saya juga suka dengan teman saya itu (diapun
sedang mengalami krisis perkawinan, seperti saya. Dan merasakan hal yg
sama dengan yg saya rasakan)
Tapi kami menyadari, bahwa tidak mungkin
akan melangkah lebih jauh, karena kondisi masing2 yg sudah sama2
mempunyai pasangan. Akhirnya ya hanya sekedar berteman, tapi mungkin
lebih dari sekedar teman. Bagaimana dengan “rasa” yg tumbuh di hati
ini, ustadz? Bukankah dia datang sendiri?
Apa tidak boleh, seseorang
yg sudah menikah, mencintai orang lain, sebagai sesama saudara, berkasih
sayang karena Alloh? Bagaimana makna “mencintai karena Alloh”, untuk 2
orang yg berlainan jenis, tapi bukan mahram?
Mohon pencerahannya,
ustadz. Tapi rasanya saya belum bisa meninggalkannya. Kami hanya
merasakan, hubungan diantara kami adalah hubungan saudara (dia
menganggap saya adiknya, dan sayapun menganggapnya sebagai kakak saja).
Sekian saja ustadz, jawaban dan bimbingan ustadz sangat saya harapkan.
Jazakallahu khoiron katsiiron
Wassalamu’alaikum
Ummu Fulanah
Jawaban :
Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh
Ukhti
fillah, ketahuilah bahwa pernikahan adalah mahkota kehormatan dan
mahligai kesucian dari seorang perempuan. Dan itu adalah salah satu
nikmat Allah patut untuk disyukuri sehingga kita bertambah anugrah dan
tertolak dari kejelekan dan bencana.
Adanya kejenuhan dalam
pernikahan adalah perkara yang lumrah dan banyak menimpa manusia. Namun
dalam kejenuhan tersebut janganlah seseorang menjadi mangsa syaithon
dalam menjerumuskannya dalam lembah kehinaan dan kenistaan.
|
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan,
“Setiap
amalan ada semangat padanya, dan dibelakangan setiap setiap semangat
ada kejenuhan padanya. Siapa yang kejenuhannya kepada sunnahku maka dia
telah mendapat petunjuk. Siapa yang kejenuhannya kepada selain itu maka
sunggu dia telah binasa.”
(Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan selainnya dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu anhuma.)
|
Hadits di atas berlaku umum untuk pernikahan maupun seluruh amalan lainnya.
Maksudnya,
bila seorang jenuh dalam pernikahan misalnya, maka hendaknya ia melihat
bagaimana tuntunan agama dalam menghilangkan hal tersebut, dan
bagaimana menumbuhkan semangatnya serta mengarahkannya kepada hal yang
baik, misalnya mungkin saya ada kekurangan dalam menunaikan hak suami,
atau sebagai istri masih banyak hal belum saya jalankan dan seterusnya.
Dan apa yang ukhti sebutkan adalah merupakan kejenuhan yang bukan kepada sunnah Nabi Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
|
Syaithon
memang pandai dalam menjerat anak manusia. Tadi ukhti hanya
memandangnya sebagai teman biasa, kemudian terselip ‘perasaan lain’,
Kemudian hanya dianggap sebatas saudara…. dan ukhti belum tahu apa yang
akan dilakukan oleh Syaithon berikutnya sehingga berhasil menjerumuskan
hamba kepada dosa yang lebih besar dari itu.
Dan ingatlah bahwa
penyesalan itu datangnya belakangan, saat tidak arti sebuah penyesalan
terhadap amalan yang telah menodai kesucian dan kebaikan ukhti. Dan di
hari kiamat…hari perhitungan, hari mempertanggung jawabkan seluruh
amalan.
Karena itu, nasehat ana :
Satu : Bertakwalah kepada Allah pada segala keadaan.
Dua : Ketahuilah bahwa dosa membawa berbagai kepedihan dan kepiluan bagi seorang hamba.
Tiga
: Saya yakin bila apa yang terjadi pada ukhti terjadi pada suami ukhti
sehingga dia juga punya “perasaan” kepada perempuan lain, tentu ukhti
sangat tidak menerimanya dan merasa sangat dikhianati.
Empat :
Sewajibnya, untuk tidak berhubungan dengan “orang lain itu” dan
memutuskan segala ketarkaitan dengannya. Dan jangan membuka pintu bagi
syaithon.
Lima : Ridho dan syukuri nikmat pernikahan yang Allah berikan kepada ukhti niscaya Allah akan menambah kenikmatan itu.
Wallahu A’lam
Ditulis oleh
(Al Ustadz) Abu Muhammad Dzulqarnain bin Muhammad Sunusi
Riyadh, KSA, Pagi 29 Muharram 1430H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar