Sabtu, 01 Maret 2014

Cara Mengqadha Hutang Puasa Ramadhan Tahun Sebelumnya

Pertanyaan :

Seseorang memiliki tanggungan/hutang beberapa hari puasa Ramadhan. Namun hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya ternyata ia belum juga mengqodho’ (mengganti kewajiban/membayar) hutang puasanya tersebut. Bagaimana seharusnya yang ia lakukan? Apakah ia berdosa, dan apakah gugur kewajibannya?

Jawab :

Sesungguhnya Allah berfirman dalam Al-Qur`anul Karim :

(( فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ , وَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلى سَفَرٍ فَعِدَّةٍ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ))

“Barangsiapa diantara kalian yang mendapati bulan (Ramadhan) maka hendaklah ia berpuasa, dan barangsiapa yang sakit atau berpergian (lalu ia tidak berpuasa) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya di hari yang lain.”Al Baqorah : 185.

Sehingga seseorang diperbolehkan untuk tidak berpuasa jika ada alasan syar’i, kemudian ia berkewajiban untuk menggantinya pada hari-hari lain, serta tidak menundanya sampai datang bulan Ramadhan berikutnya, dengan dasar ucapan ‘Aisyah Radhiyallah ‘anha (istri Rasulullah), ia berkata :

كَانَ يَكُوْنُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيْعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلاَّ فِي شَعْبَانَ .

Dahulu kami memiliki tanggungan/hutang puasa Ramadhan, dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya (yakni terus tertunda) kecuali setelah sampai bulan Sya’ban (yakni terus tertunda hingga tiba bulan Sya’ban berikutnya). (HR. Al-Bukhari, Bab Kapan Menunaikan Qodho’ Puasa, no.1950)

‘Aisyah Radhiyallah ‘anha tidak sempat mengqodho’ puasanya hingga tiba bulan Sya’ban (berikutnya) karena keadaan beliau di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .

Adapun perkataan Aisyah : “dan tidaklah aku sempat mengqodho’nya kecuali setelah sampai bulan Sya’ban”, adalah dalil wajibnya mengqodho’ puasa Ramadhan sebelum datang bulan Ramadhan berikutnya.

Namun apabila qodho’nya diakhirkan/ditunda-tunda hingga datang bulan Ramadhan tahun berikutnya maka ia berkewajiban untuk beristighfar dan meminta ampun kepada Allah, serta menyesal dan mencela perbuatannya menunda-nunda qodho’ puasa. Namun ia tetap berkewajiban mengqodho’ puasanya yang ia tinggalkan, karena kewajiban mengqodho’ tidak gugur dengan sebab diakhirkan/ditunda. Maka ia tetap wajib menggantinya walaupun setelah bulan Ramadhan tahun berikutnya, Wallahul Muwaffiq.

Fatawa Arkanul Islam oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, halaman 489, pertanyaan yang ke – 439.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=339#more-339)

* * *
Hukum Mengqadha Puasa

Barangsiapa yang membatalkan puasa Ramadhan dengan sebab yang dibolehkan, seperti udzur-udzur syar’i yang membolehkan seseorang untuk membatalkan puasa, atau yang diharamkan, seperti orang yang membatalkan puasanya dengan jima’, ia wajib melakukan qadha. Berdasarkan firman Allah Azza wa Jalla: (artinya)

“Maka(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Bagarah: 184)

Disunnahkan bagi mereka untuk segera membayar qadha’nya agar segera terbebas dari tanggungan.

Qadha disunnahkan untuk dilakukan dengan cara berturut-turut karena qadha mengikuti ada’ (ibadah tepat pada waktunya) menurut ijma’(kesepakatan para ulama’). Jika tidak mengqadha dengan segera, is wajib betekad untuk itu, dan boleh baginya mengundurkannya karena waktunya panjang. Setiap kewajiban yang waktunya panjang, diperbolehkan mengundurkannya dengan tekad mengerjakannya, diperbolehkan untuk melakukannya secara terpisah-pisah tanpa berurutan.

Akan tetapi jika bulan Sya’ban tersisa sejumlah puasa yang harus diqadha, ia wajib melakukan qadha dengan cara berurutan. Demikian menurut ijma’. Hal itu karena sempitnya waktu.

Tidak boleh menundanya hingga Ramadhan berikutnya tanpa adanya udzur. Berdasarkan ucapan Aisyah Radhiallahu ‘anha

“Suatu ketika aku memiliki hutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadha puasa Ramadhan, melainkan pada bulan Sya’ban karena kesibukan melayani Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Muttafaqun `alaih) (1)

Hadits ini menunjukkan bahwa waktu meng-qadha itu luas hingga bulan Sya’ban tidak tersisa selain sejumlah puasa yang ditinggalkan Maka, wajib baginya berpuasa sejumlah hari itu sebelum Ramadhan berikutnya.

Jika mengakhirkan mengqadha puasa hingga tiba Ramadhan yang berikutnya, maka ia melakukan puasa Ramadhan yang tiba itu dan melakukan qadha hutang puasanya setelahnya. Kemudian, jika meninggalkannya karena adanya udzur sehingga la tidak bias meng-qadha di waktu yang ada itu, maka tiada lain wajib baginya kecuali qadha.

Jika meninggalkannya karena tanpa udzur, maka di samping meng-qadha ia wajib memberikan makanan setiap hari meng-qadha itu sebanyak setengah sha’ berupa makanan pokok di daerah tempat tinggalnya.

Orang yang meninggal dengan kewajiban qadha padanya sebelum tibanya bulan Ramadhan yang akan datang, maka tidak ada kewajiban atasnya karena la menundanya dalam waktu yang diperbolehkan.

Jika meninggal setelah Ramadhan yang berikutnya dan menunda qadha karena adanya udzur, seperti, sakit atau dalam perjalanan hingga disusul dengan tibanya bulan Ramadhan berikutnya, maka ia tidak menanggung beban apa-apa juga.

Jika la menundanya tanpa udzur apa pun, maka ia wajib membayar kafarat dengan cara mengeluarkan atas namanya makanan_untuk orang-orang miskin sejumlah hari puasa yang la tinggalkan

Barangsiapa meninggal dan masih menanggung puasa kafarat, seperti, puasa untuk kafarat dzihar atau puasa wajib sebagai dam haji tamattu’, maka harus memberi makanan atas namanya setiap hari satu orang miskin dan tidak perlu diqadha puasanya. Pemberian makanan itu diambilkan dari harta peninggalannya karena puasanya adalah puasa yang sama sekali tidak bisa diwakilkan kepada orang yang masih hidup. Demikianlah pendapat mayoritas ahli ilmu.

Barangsiapa yang meninggal dan padanya tanggungan puasa nadzar, maka disunnahkan kepada walinya untuk melakukan puasa atas namanya. Berdasarkan hadits di dalam kitab Ash-Shahihain,

“Seorang wanita datang menghadap kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan puasa nadzar. Apakah aku harus berpuasa atas namanya?’ Beliau menjawab, ‘Ya benar’. ” (2)

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata, “Dilakukan puasa nadzar atas namanya dan tidak demikian untuk puasa fardhu yang asli. Ini adalah madzhab Ahmad dan lainnya, ini nash yang datang dari Ibnu Abbas dan Aisyah. Itu selaras dalil dan qiyas karena puasa nadzar pada dasarnya menurut syariat adalah bukan puasa wajib, akan tetapi diwajibkan oleh hamba kepada dirinya. Maka, menjadi semacam hutang atas dirinya. Oleh karena itu, Nabi menyerupakannya dengan hutang.

Adapun puasa yang dari awalnya telah difardhukan oleh Allah Azza wa Jalal maka puasa itu adalah salah satu dari rukun Islam. Maka, bagaimanapun tidak bisa digantikan oleh orang lain dalam pengamalannya, sebagaimana shalat dan syahadat. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari keduanya itu adalah ketaatan hamba kepada dirinya sendiri dan kesiapannya untuk memenuhi hak ibadah yang merupakan tujuan penciptaan makhluk. Yang demikian ini tidak bisa diwakilkan, dan shalat tidak bisa diwakilkan kepada yang lain.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah, berkata, “Setiap hari ia harus memberikan makanan pokok kepada satu orang miskin. Pendapat ini diikuti oleh Ahmad, Ishaq, dan lainnya. Ini merupakan tuntunan hukum sebagaimana diwajibkan oleh atsar. Nadzar adalah sesuatu yang sangat baku sebagai suatu beban tanggung jawab, maka harus dikerjakan setelah kematian.”

Adapun puasa Ramadhan, Allah Azza wa Jalla tidak mewajibkannya kepada orang yang tidak mampu melakukannya. Akan tetapi, Dia memerintahkan kepadanya untuk membayar fidyah saja dengan memberikan makanan pokok kepada seorang miskin. Sedangkan kewajiban mengqadha adalah atas orang-orang yang mampu melakukannya, bukan atas orang-orang yang tak mampu. Maka, tidak perlu seseorang melakukan qadha atas nama orang lain.

Sedangkan nadzar puasa atau lainnya, maka baleh dilakukan orang lain tanpa khilaf (perbedaan) karena berdasarkan hadits-hadits shahih.

(1) Muttafaqun’alaih: Al-Bukhari (1950) (4/240) Bab “Shaum” 40, dan Muslim (2682) (4:2 Bab “Shiyam.” 151.

(2)Muttafaqun ‘alaih dari hadits Ibnu Abbas: Al-Bukhari (1953) (4/245); Muslim (2691) (4/266) dan lafadz-nya … “Puasalah kamu untuk ibumu.”

(Referensi : Buku “Ringkasan Fiqih Islam” Panduan Ibadah Sesuai Sunnah Jilid 2 Hal. 93-96 Penerbit: Pustaka Salafiyah Cetakan Pertama : Juni 2006/Jumada Ula 1427 H Penerjemah: AL Ustadz Akhmad Yusjawi)

SUMBER : http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=358

Tidak ada komentar: