Dhobit Keempat : Haramnya riba dalam mu’amalat.
Kami akan sedikit meluas dalam menguraikan dhabit keempat ini karena besarnya bahaya riba, bencananya terhadap kaum
muslimin dan banyaknya orang yang bermu’amalah dengannya, khususnya di
zaman ini yang ketamakan dan kepentingan materi telah manjangkiti
kedalam hati banyak manusia sehingga wajib atas orang yang berilmu untuk
mengarahkan pena dan perhatiannya dalam
menyingkap bahaya dan kerusakan riba.
Dalil-dalil tentang haramnya riba:
Pengharaman riba sudah semenjak dahulu, karena Allah ‘Azza wa Jalla
telah mencela orang-orang Yahudi yang bermu’amalah dengannya dan memakan
riba.
Allah ‘Azzat ‘Azhomatuhu berfirman :
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ
طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيراً.
وَأَخْذِهِمُ الرِّبا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ
النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَاباً
أَلِيماً
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas
mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) telah
dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dari jalan Allah, dan juga disebabkan karena mereka memakan riba,
padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena
mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih”. (QS. An-Nisa` : 160-161).
Dan riba sudah ada di zaman Jahiliyah, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah menyebutkan dalam surah Ar-Rum celaan tentang riba dan memuji
zakat, padahal surah Ar-Rum adalah surah Makkiyah. Allah berfirman :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِباً لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ
فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ
وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi
Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu harapkan wajah
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat
gandakan (pahalanya)”. (QS. Ar-Rum : 39)
Dan dalam surah Ali ‘Imran, Allah ‘Azza wa Jalla menyatakan :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبا أَضْعَافاً مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan”. (QS. Ali ‘Imran : 130).
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبا لا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ
الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama
dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari
Rabb-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah : 275).
Lihat bagaimana jeleknya perumpamaan orang yang makan riba di awal ayat :
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila”.
Dan lihat ancaman yang sangat keras terhadap orang yang makan riba
setelah mengetahui haramnya pada akhir ayat : “Orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya”. Yaitu ia kekal di dalam Neraka kalau memang ia
meyakini halalnya riba itu. Sebab siapa yang meyakini halalnya riba
berarti ia telah menghalalkan sesuatu yang sangat jelas dan dimaklumi
keharamannya dalam syari’at islam dan itu berarti dia kafir keluar dari
Islam.
Dan Allah Jalla Jalaluhu berfirman :
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat
dosa”. (QS. Al-Baqarah : 276).
Perhatikan firman-Nya diawal ayat : “Allah memusnahkan riba” yaitu Allah
mencabut berkah dari riba itu. Kemudian renungkan dua pensifatan yang
sangat jelek di akhir ayat : “Orang yang tetap dalam kekafiran, dan
selalu berbuat dosa”. Pelaku riba disebut sebagai orang kafir, maknanya
bahwa dosanya sangatlah besar atau bermakna kafir keluar dari Islam bila
ia meyakini halalnya riba tersebut.
Dan juga disifatkan sebagai orang yang sangat berdosa, karena bahaya riba itu pada jiwa, harta dan pada yang lainnya.
Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا
بَقِيَ مِنَ الرِّبا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ
رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang
beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka
ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu
bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak
menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah : 278-279)
Perhatikan awal ayat : “Hai orang-orang yang beriman“, seruan dengan
panggilan keimanan supaya meninggalkan riba. Kemudian ancaman yang
sangat keras terhadap orang yang tidak mau meninggalkan riba berupa
peperangan dari Allah dan Rasul-Nya. Karena siapa yang tidak mau
meninggalkan riba berarti dia adalah musuh Allah dan Rasul-Nya.
Dan perhatikan di akhir ayat, pensifatan pelaku riba dengan bentuk kezholiman yang sangat tercela dalam setiap syari’at.
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhary
dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
bersabda :
اِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ … فَذَكَرَ مِنْهَا : أَكْلُ الرِّبَا
“Jauhilah tujuh (dosa) yang menghancurkan… lalu beliau menyebutkan diantaranya : makan riba”.
Dan dalam hadits Jabir radhiyallahu ‘anhuma riwayat Muslim :
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ
وَسَلَّمَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوْكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَال
:َ وَهُمْ سَوَاءٌ
“Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam
melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan dua
saksinya. Dan beliau berkata : mereka semua sama”.
Dalil-dalil di atas sangatlah jelas menunjukkan haramnya riba,
karena itu para ulama sepakat tanpa ada perselisihan tentang haramnya
riba secara garis besar walaupun dalam sebagian rincian pembagiannya
terdapat perselisihan sebagaimana yang akan datang penjelasannya.
Definisi Riba dan Pembagiannya:
Riba secara bahasa adalah bermakna bertambah atau berkembang.
Adapun secara istilah, riba menjadi jelas dan terperinci dengan mengetahui pembagian riba itu sendiri.
Riba dalam rincian secara mendetailnya terbagi dua:
1. Riba jual beli.
2. Riba hutang.
Pembagian Riba Jual Beli:
Riba dalam jual beli terbagi dua :
1. Riba Fadhl.
2. Riba Nasi`ah.
Riba Fadhl:
Fadhl secara bahasa bermakna tambahan.
Para ulama tidak terlalu berbeda dalam mendefinisikan riba Fadhl. Yang
mungkin bisa disimpulkan bahwa riba Fadhl adalah : Penambahan pada salah
satu dari dua barang ribawy yang sejenis pada saat transaksi itu juga
(kontan).
Penjelasan Definisi:
Barang ribawy maknanya adalah barang yang berlaku padanya hukum
riba. Perlu diketahui oleh para pembaca bahwa barang dalam pembahasan
riba terbagi menjadi dua :
Barang ribawy. Jenis barang yang telah disepakati oleh para ulama
tentang berlakunya hukum riba padanya yaitu : emas, perak, gandum,
korma, sya’ir (jewawut yaitu sejenis gandum) dan garam. Adapun selain
dari enam ini, apakah ada barang yang tergolong barang ribawy, akan
datang penjelasannya secara terperinci.
Barang ghairu ribawy (selain ribawy), yaitu yang tidak berlaku padanya hukum riba. Seperti : kain, baju, batu dan lainnya.
Contoh riba Fadhl :
Seperti emas 2 gr ditukar dengan emas 3 gr, korma 2 kg ditukar dengan korma 3 kg.
Contoh di atas terhitung riba Fadhl sebab ada penambahan pada salah satu
dari dua barang yang sejenis. Sedangkan emas dan korma termasuk barang
ribawy.
Adapun kalau emas ditukar dengan korma maka boleh ada penambahan karena
emas tidak sejenis dengan korma walaupun keduanya tergolong barang
ribawy.
Dan demikian pula bila sebuah baju ditukar dengan tiga baju, walaupun
sejenis namun tidaklah terhitung riba Fadhl karena baju bukan barang
ribawy.
Dalil-dalil pengharaman riba Fadhl :
Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary dan Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudry
radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala
alihi wa sallam bersabda :
لاَ تَبِيْعُوْا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ
وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ. وَلاَ تَبِيْعُوْا الورق بالورق
إِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَ
تَبِيْعُوْا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِزٍ
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali semisal dengan
semisal dan jangan kalian lebihkan sebagiannya di atas sebagian yang
lain. Janganlah kalian menjual perak dengan perak kecuali semisal dengan
semisal dan jangan kalian lebihkan sebagiannya di atas sebagian yang
lain. Dan jangan kalian menjual yang tidak ada dengan (sesuatu) yang
telah siap”.
Dan dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ, وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ, وَالْبرُ
ُّبِالْبرُ,ِّ وَالشَّعِيْرُ بِالشَّعِيْرِ, وَالتَّمَرُ بِالتَّمَرِ,
وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ, مِثْلاً بِمِثْلٍ, سَوَاءٌ بِسَوَاءٍ, يَدًا
بِيَدٍ, فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الْأَصْنَافُ فَبِيْعُوْا كَيْفَ
شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ.
“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, korma dengan korma dan garam dengan garam. Semisal dengan
semisal, sama dengan sama, tangan dengan tangan. Kalau jenis-jenis ini
berbeda maka juallah sesuka kalian kalau tangan dengan tangan (maksudnya
langsung dipegang/kontan, pen)”.
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
اَلذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ, مِثْلاً بِمِثْلٍ.
وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلاً بِمِثْلٍ. فَمَنْ
زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَهُوَ رِبَا.
“Emas dengan emas setimbang dengan setimbang, semisal dengan
semisal. Perak dengan perak setimbang dengan setimbang, semisal dengan
semisal. Maka siapa yang menambah atau minta tambah maka itu adalah
riba”.
Tiga hadits di atas dan banyak lagi hadits lainnya tegas menunjukkan
haramnya riba fadhl, secara khusus pada enam jenis barang ribawy yang
tersebut dalam hadits. Karena itu telah terjalin kesepakatan di kalangan
para ulama tentang haramnya memberi tambahan pada salah satu dari dua
barang ribawy yang sejenis dari enam jenis barang di atas.
Tapi di sini ada dua syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan oleh
sebagian orang dari kalangan orang yang datang belakangan guna
menghalalkan riba Fadhl :
Syubhat Pertama : Dalam Shohih Muslim dari Usamah bin
Zaid radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
لاَ رِبَا إِلاَّ النَّسِيْئَةَ
“Tidak ada riba kecuali dalam Nasi`ah”.
Kata mereka : “Ini menunjukkan bahwa tergolong riba yang haram hanyalah riba nasi`ah, berarti riba Fadhl itu halal”.
Syubhat Kedua : Ada riwayat dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhum, bahwa keduanya berpendapat akan bolehnya riba Fadhl.
Sebenarnya berpegang dengan dua syubhat diatas bagaikan bergantung
pada sesuatu yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Namun untuk
rincinya, dua syubhat ini akan dibantah sebagai berikut :
Syubhat pertama dijawab dengan enam jawaban :
Jawaban Pertama : Hadits Usamah adalah hadits yang Mansukh (terhapus
hukumya) oleh hadits-hadits yang menunjukkan haramnya riba Fadhl. Dan
diantara perkara yang menunjukkan mansukhnya adalah kesepakatan para
ulama untuk tidak beramal dengan hadits tersebut.
Jawaban Kedua : Pernyataan “Tidak ada riba kecuali dalam Nasi`ah”,
ini berlaku apabila barangnya berbeda jenis. Misalnya : emas ditukar
dengan perak, korma ditukar dengan gandum dan seterusnya. Dalam keadaan
ini memang boleh melebihkan jenis barang bila ditukar dengan jenis
lainnya, seperti emas 1 gr ditukar dengan perak 10 gr dan seterusnya.
Dan yang terlarang dalam keadaan ini hanyalah riba nasi`ah.
Hadits Usamah diarahkan kepada pengertian ini sebab hadits Usamah adalah
umum dan ada hadits secara khusus melarang riba Fadhl, sedangkan kaidah
di kalangan para ulama : “yang khusus lebih didahulukan dari yang
umum”.
Jawaban Ketiga : Keterangan dalam hadits Usamah adalah global (tidak
terperinci), sedang hadits-hadits tentang haramnya riba Fadhl datang
secara terperinci. Maka kaidahnya, “yang dipakai beramal adalah
keterangan terperinci dan yang global dibawa pengertiannya kepada yang
terperinci”.
Jawaban Keempat : Hadits Usamah dari riwayat satu orang shahabat saja
sedang hadits tentang haramnya riba Fadhl dari banyak shahabat. Maka
yang banyak lebih kuat dari riwayat satu orang saja.
Jawaban Kelima : Makna “Tidak ada riba kecuali dalam Nasi`ah”, yaitu
tidak ada riba yang lebih besar dosa dan bahayanya dari riba nasi`ah.
Bukanlah pembatasan bahwa riba itu hanya dalam hal nasi`ah. Dan makna
yang seperti ini dikenal di kalangan orang Arab. Seperti orang Arab
berkata : “Tidak ada alim di negeri itu kecuali Zaid”. Padahal ada
orang-orang alim selain Zaid. Yang mereka inginkan bahwa tidak ada yang
keilmuannya menandingi Zaid.
Jawaban Keenam : Mengatakan bolehnya riba Fadhl dari hadits Usamah
diambil dari dalalatul mafhum (pemahaman kebalikan dari hadits/pemahaman
tersirat). Sedang pernyataan haramnya riba Fadhl dalam hadits-hadits
selain hadits Usamah diambil dari dalalatul manthuq (Pemahaman dari
konteks hadits/pemahaman tersurat). Dan kaidah berbunyi bahwa
“Dalalathul manthuq lebih didahulukan dari dalalathul mafhum”.
Adapun syubhat kedua, jawabannya bahwa pendapat
tentang boleh riba Fadhl dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas adalah dari
ijtihad beliau berdua. Karena itu, ketika sampai kepada beliau berdua
hadits Rasululullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tentang
haramnya raba Fadhl maka beliau berdua ruju’ (kembali) dari pendapatnya.
Maka dengan ini rontoklah setiap syubhat yang dipakai untuk
membolehkan riba Fadhl dan telah jelas syahnya kesepakatan para ulama
tentang haramnya riba Fadhl. Wallahu a’lam.
(sumber: http://al-atsariyyah.com/haramnya-riba-dalam-muamalat-i.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar