Sabar dan yakin terhadap ayat-ayat-Nya, dua kunci sukses seseorang
meraih kepemimpinan di dalam agama ini, memimpin dan mengarahkan umat
kepada jalan yang lurus sesuai dengan rambu-rambu agama yang telah
digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam.
Mereka itulah para ulama Rabbaniyyin -yang
dengan kesabaran dan keyakinan mereka terhadap ayat-ayat Allah- telah
berhasil memimpin umat dari generasi ke generasi untuk berpegang teguh
dengan kitab Rabbnya dan sunnah Nabinya berdasarkan pemahaman
as-salafush shalih.
Di antara tokoh ulama yang pantas untuk
digelari imam yang berhasil memimpin dan membimbing umat menuju agama
Allah adalah ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullah. Kesabarannya yang luar
biasa telah membuka jalan baginya untuk meraih kepemimpinan dalam agama
ini. Ditambah ketinggian dan kekokohan ilmu yang dimilikinya, semakin
menempatkan beliau kepada derajat ‘alim yang layak untuk diteladani.
Kunyah, Nama Lengkap, dan Nasab Beliau
Beliau
adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin Khuwailid
bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi
Al-Madani.
Beliau adalah seorang tabi’in yang mulia, satu dari
Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (tujuh tokoh fuqaha’ /ulama) yang masyhur dalam
sejarah kaum muslimin, panutan umat, putra dari Az-Zubair bin Al-’Awwam
radhiyallahu ‘anhu, salah seorang As-Sabiqunal Awwalun (para shahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang pertama-tama masuk Islam).
Bersama dengan sembilan shahabat yang lain, Hawari (penolong) Rasulullah
ini telah mendapatkan kabar gembira masuk ke dalam surga selagi mereka
masih hidup di dunia.
Ibu beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma, wanita mulia yang turut membantu
persiapan ayahanda dan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat
hijrah ke kota Madinah. Bermula dari sinilah beliau kemudian mendapatkan
julukan Dzatun Nithaqain (yang memiliki dua ikat pinggang). JAdi,
manusia terbaik setelah Rasulullah -yakni Abu Bakr Ash-Shiddiq- adalah
kakek beliau dari jalur ibu.
Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah
bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma, salah seorang Al-’Abadilah
Al-Arba’ah[1], dengan usia yang terpaut 20 tahun.
Bibi beliau
adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah,
keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan
kalau kemudian ‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling
mengetahui hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan: Yang paling mengetahui hadits (yang diriwayatkan) ‘Aisyah adalah ‘Urwah, ‘Amrah, dan Al-Qasim.
Qabishah
bin Dzu’aib mengatakan: ‘Urwah telah mengalahkan kami dalam masuknya
beliau (untuk meriwayatkan hadits) dari ‘Aisyah, dan ‘Aisyah adalah
orang yang paling berilmu.
Beliau dilahirkan pada tahun ke-23
Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan di kota Madinah.
Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah yang kedua,
thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.
Keilmuan, Ibadah dan Akhlak Beliau
Beliau
sempat meriwayatkan hadits dari ayahnya, namun hanya sedikit. Dan juga
meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Zaid, ‘Ali bin Abi Thalib, Jabir,
Al-Hasan, Al-Husain, Muhammad bin Maslamah, Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas,
Zaid bin Tsabit, Abu Ayyub Al-Anshari, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah
bin Zaid, Mu’awiyah, ‘Amr bin Al-’Ash, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash,
Hakim bin Hizam, ‘Abdullah bin ‘Umar, dan yang lainnya.
Beliau
pun juga menimba ilmu dari para shahabiyah di antaranya Asma’ bintu Abi
Bakar Ash-Shiddiq -ibunya sendiri-, ‘Aisyah Ummul Mu’minin -bibi
beliau-, Asma’ binti ‘Umais, Ummu Habibah, Ummu Salamah, Ummu Hani’,
Ummu Syarik, Fathimah bintu Qais, Dhuba’ah bintu Az-Zubair, Busrah bintu
Shafwan, Zainab bintu Abi Salamah, ‘Amrah Al-Anshariyyah radhiyallahu
‘anhunna ajma’in.
Para ulama yang berguru dan meriwayatkan hadits
dari beliau adalah Sulaiman bin Yasar, Abu Salamah bin ‘Abdirrahman,
Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Az-Zinad, Shalih bin Kaisan, Ja’far
Ash-Shadiq, Ibnu Abi Mulaikah, ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah,
‘Atha bin Abi Rabah, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, ‘Amr bin Dinar, Yahya bin
Abi Katsir, dan sejumlah ulama yang lain.
Beliau adalah orang
pertama yang menulis tentang masalah Al-Maghazi (peperangan) dan yang
paling banyak melantunkan syair pada zamannya.
Beliau adalah
salah seorang di antara sepuluh ulama di kota Madinah yang selalu
menjadi rujukan khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz sewaktu beliau menjabat
sebagai gubernur di kota tersebut.
Qabishah bin Dzu’aib menceritakan sebuah kisah:
Dahulu
semasa khalifah Mu’awiyah, kami yaitu aku, Mush’ab bin Az-Zubair,
‘Urwah bin Az-Zubair, Abu Bakar bin ‘Abdirrahman, ‘Abdul Malik bin
Marwan, ‘Abdurrahman Al-Miswar, Ibrahim bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf dan
‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Utbah biasa berkumpul membuat halaqah
setiap malam di masjid. Dan pada siang harinya kami berpisah. Maka aku
belajar kepada Zaid bin Tsabit -waktu itu beliau ditunjuk sebagai ketua
dalam bidang kehakiman, fatwa, qira’ah dan fara’idh sejak masa khalifah
‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali di kota Madinah-. Kemudian aku dan Abu Bakar bin
‘Abdirrahman belajar kepada Abu Hurairah. Dan ‘Urwah telah mendahului
kami dalam belajar kepada ‘Aisyah.
Abu Az-Zinad menceritakan:
Dahulu
pernah berkumpul di Al-Hijr (yakni Hijr Isma’il di Ka’bah) Mush’ab bin
Az-Zubair, ‘Abdullah bin Az-Zubair, ‘Urwah bin Az-Zubair dan Ibnu ‘Umar.
Mereka mengatakan: Mari kita berangan-angan!
‘Abdullah bin Az-Zubair berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang khalifah.
‘Urwah berkata: Aku bercita-cita ingin menjadi seorang yang alim.
Mush’ab berkata: Adapun aku, aku ingin menjadi pemimpin Iraq dan menikahi ‘Aisyah bintu Thalhah dan Sukainah bintu Al-Husain.
Adapun Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Kalau aku hanya menginginkan ampunan dari Allah ‘azza wajalla.
Maka mereka semua telah berhasil menggapai cita-citanya masing-masing dan adapun Ibnu ‘Umar semoga Allah mengampuninya.
Suatu
ketika ‘Urwah melihat seorang laki-laki melakukan shalat dengan cepat
kemudian setelah selesai shalat dia berdo’a. ‘Urwah berkata: Wahai
saudaraku, tidakkah engkau memiliki kebutuhan kepada Rabb-mu dalam
shalatmu? Adapun aku, aku selalu meminta sesuatu kepada Allah sampaipun
aku meminta garam.
Dahulu kebiasaan beliau setiap kali memasuki kebun, selalu membaca surat Al-Kahfi ayat 39 dan diulang-ulanginya bacaan tersebut:
ولولا إذ دخلت جنتك قلت ما شاء الله لا قوة إلا بالله إن ترن أنا أقل منك مالا وولدا.
Dan
Mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu
“maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah
semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).
sekiranya kamu anggap Aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan
keturunan.” (Al Kahfi: 39)
……… sampai beliau keluar darinya.
Kebiasaan
beliau dalam setiap harinya adalah membaca seperempat Al-Qur’an.
Kemudian seperempat Al-Qur’an yang beliau baca pada siang harinya
tersebut, dibaca dalam shalat malamnya. Dan tidak pernah sekalipun
beliau meninggalkan kebiasaan ini kecuali pada malam diamputasinya kaki
beliau.
Tentang sebab dan peristiwa diamputasinya kaki beliau ini
juga menjadi kisah tersendiri yang dapat menyentuh kalbu setiap insan
mu’min sekaligus menunjukkan kepada kita bukti sebuah kesabaran luar
biasa di dalam menghadapi suatu musibah besar yang telah ditunjukkan
oleh seorang hamba Allah yang mu’min yang mungkin tiada lagi didapati
kesabaran yang seperti itu apalagi di zaman sekarang ini.
Suatu
ketika ‘Urwah bin Az-Zubair mendapat tugas untuk menemui khalifah
Al-Walid bin ‘Abdil Malik di ibukota kekhalifahan yaitu Damaskus di
negeri Syam. Maka keluarlah beliau beserta rombongan menuju kota
Damaskus. Setibanya di suatu tempat yang masih dekat dengan kota Madinah
yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura, terjadi pada beliau semacam luka di
telapak kakinya yang kiri. Lambat laun luka tersebut mengeluarkan nanah
dan semakin bertambah parah. Waktu berlalu, dan luka tersebut tidak
saja semakin bertambah parah namun juga menyebabkan kakinya busuk serta
semakin menjalar menggerogoti kakinya.
Dan akhirnya sampailah
beliau kepada khalifah Al-Walid di kota Damaskus dalam keadaan ditandu
dan penyakit tersebut telah menjalar sampai setengah betis. Begitu
mengetahui keadaan yang menimpa ‘Urwah, khalifah Al-Walid segera
memanggil para dokter ternama di kota tersebut untuk mengobati penyakit
beliau. Maka terkumpullah para dokter dan segera memeriksa penyakit yang
beliau derita tersebut. Setelah memeriksa dan mendiagnosa jenis
penyakit yang menimpa beliau, sampailah mereka pada keputusan bahwa kaki
beliau harus secepatnya diamputasi. Sebab kalau tidak, penyakitnya akan
terus menjalar ke pangkal paha dan seterusnya ke arah anggota badan
yang lain, dalam keadaan penyakit tersebut sekarang telah menggerogoti
sampai mencapai setengah paha kirinya. Disampaikanlah keputusan tersebut
kepada beliau dan ternyata beliau bisa menerimanya dengan tabah.
Maka
dimulailah persiapan untuk operasi pemotongan kaki beliau. Kemudian
para dokter tersebut menawarkan obat bius kepada beliau agar nantinya
tidak merasakan sakit ketika kakinya digergaji. Namun beliau menolak
tawaran tersebut seraya mengatakan: “Aku tidak pernah menyangka terhadap
seorang yang beriman kepada Allah bahwa dia akan minum suatu obat yang
akan membuat hilang akalnya sehingga dia tidak mengenal Rabbnya. Akan
tetapi kalau kalian mau memotongnya silakan, dan aku akan berusaha
menahan rasa sakitnya.”
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa
tatkala beliau menolak tawaran para dokter tersebut, beliau mengatakan:
“Akan tetapi jika memang kalian mau memotongnya silakan lakukan saja dan
biarkanlah diriku dalam keadaan shalat agar aku tidak merasakan sakit
dan pedihnya.
Maka dimulailah operasi pemotongan kaki beliau yang
sebelah kiri dengan gergaji pada bagian atas sedikit dari kaki yang
tidak terkena penyakit. Sewaktu proses amputasi tersebut sedang
berlangsung, beliau tidak bergeming atau bergerak sama sekali dan juga
tidak terdengar rintihan rasa sakit sedikitpun. Maka ketika telah
selesai dari proses pemotongan kaki dan juga telah selesai dari
shalatnya, datanglah khalifah Al-Walid menghibur beliau. Dan berkatalah
‘Urwah kepada dirinya sendiri: “Ya Allah, segala puji hanya untuk-Mu,
dahulu aku memiliki empat anggota tubuh (dua kaki dan dua tangan),
kemudian Engkau ambil satu. Walaupun Engkau telah mengambil anggota
tubuhku namun Engkau masih menyisakan yang lain. Dan walaupun Engkau
telah memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang
darinya. Segala puji hanya untuk-Mu atas apa yang telah Engkau ambil
dan atas apa yang telah Engkau berikan kepadaku dari masa sehat.
Al-Walid berkata: “Belum pernah sekali pun aku melihat seorang syaikh yang kesabarannya seperti dia.”
Dan
tatkala diperlihatkan potongan kaki tersebut kepadanya, beliau
mengatakan: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengetahui, bahwasanya tidak
pernah sekalipun aku melangkahkan kakiku ke arah kemaksiatan.”
Dan
pada malam itu juga bersamaan dengan telah selesainya operasi
pemotongan kaki, beliau mendapatkan kabar bahwa salah seorang putra
beliau yang bernama Muhammad -putra kesayangannya- meninggal dunia
karena ditendang oleh kuda sewaktu sedang bermain-main di dalam kandang
kuda.
Maka berkatalah beliau kepada dirinya sendiri: “Segala puji
hanya milik Allah, dahulu aku memiliki tujuh orang anak kemudian Engkau
ambil satu dan Engkau masih menyisakan enam. Maka walaupun Engkau telah
memberikan musibah kepadaku namun masa sehatku masih lebih panjang
darinya. Dan walaupun Engkau telah mengambil salah seorang anakku maka
sesungguhnya Engkau masih menyisakan yang lain.
Selama menunggu
proses penyembuhan kakinya, beliau tinggal di kediaman khalifah selama
beberapa hari sekaligus sambil menyelesaikan keperluan yang lain.
Kemudian setelah dirasa telah sembuh dan semua urusan telah selesai,
kembalilah rombongan ke kota Madinah. Selama dalam perjalanan pulang,
tidak pernah terdengar sepatah kata pun lisan beliau menyebut-nyebut
tentang musibah yang menimpa kakinya dan kematian yang menimpa putra
kesayangannya. Dan juga tidak terlihat beliau mengeluhkan musibah yang
menimpanya kepada orang lain.
Dan ketika rombongan telah sampai
di tempat yang dinamakan dengan Wadi Al-Qura -awal mula terjadinya
musibah pada kaki beliau tersebut-, beliau membaca ayat pada surat Al
Kahfi ayat 62:
فلما جاوزا قال لفتاه آتنا غداءنا لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا.
“Maka
tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya:
“Bawalah kemari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih
karena perjalanan kita ini”. (Al-Kahfi: 62)
Akhirnya sampailah
rombongan di kota Madinah. Ketika mulai memasuki gerbang kota, manusia
berduyun-duyun memberikan ucapan salam dan menghibur beliau atas musibah
yang beliau alami.
Nasehat Emas
Di antara nasihat emas beliau adalah sebagai berikut:
1.
Nasehat beliau kepada para pemuda: “Ada apa dengan kalian ini,
kenapa kalian tidak menuntut ilmu. Kalau sekarang ini kalian masih
kecil, niscaya nantinya kalian akan menjadi para pembesar di kaum
kalian. Dan tidak ada kebaikan pada seorang yang sudah tua sementara ia
adalah seorang yang bodoh. Sungguh aku telah melihat pada diriku sendiri
selang 4 tahun sebelum meninggalnya ‘Aisyah yaitu aku berkata pada
diriku sendiri: Kalau seandainya dia (’Aisyah) meninggal pada hari ini
maka tidaklah aku menyesali dan bersedih terhadap hadits (ilmu) yang ada
pada dirinya disebabkan aku telah mengambil semuanya. Dan sungguh telah
sampai kepadaku adanya sebuah hadits dari salah seorang shahabat maka
akupun berusaha untuk mendatanginya. Maka ternyata aku dapati majelisnya
telah selesai, akupun pergi ke rumahnya dan duduk di depan pintu
rumahnya kemudian aku bertanya kepadanya tentang hadits tersebut.”
2.
Beliau juga pernah mengatakan: “Tidaklah pernah aku menyampaikan
sebuah ilmu kepada seseorang yang akal sehatnya belum bisa untuk
mencernanya, disebabkan yang demikian itu akan menyesatkannya.”
Wafat Beliau
Beliau
wafat pada tahun 93 Hijriyah dalam usianya yang ke-70 tahun dalam
keadaan sedang berpuasa. Hisyam bin ‘Urwah mengatakan: Dahulu ayahku
berpuasa terus-menerus (banyak berpuasa) dan meninggal dalam keadaan
berpuasa.
Namanya harum dan senantiasa dikenang sepanjang masa
sebagai seorang insan yang sabar dan tabah di dalam menghadapi musibah
yang sangat berat. Semoga Allah subhanahu wata’ala merahmatinya.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=415#more-415
Tidak ada komentar:
Posting Komentar