Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- bercerita:
أَنَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ حِيْنَ تَأَيَّمَتْ حَفْصَةُ بِنْتُ عُمَرَ مِنْ
خُنَيْسِ بْنِ حُذَافَةَ السَّهْمِي -وَكَانَ مْنْ أَصْحَابِ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَتَوَفَّى بِالْمَدِيْنَةِ-.
فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: “أَتَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ
فَعَرَضْتُ عَلِيْهِ حَفْصَةَ، فَقَالَ: “سَأَنْظُرُ فِي أَمْرِي”.
فَلَبِثْتُ لَيَالِيَ ثُمَّ لَقِيَنِي، فَقَالَ: “قَدْ بَدَا لِي أَنْ لاَ
أَتَزَوَّجَ يَوْمِي هَذَا”. فَلَقِيْتُ أَبَا بَكْرٍ الصِدِّيْقَ
فَقُلْتُ: “إِنْ شِئْتَ زَوَّجْتُكَ حَفْصَةَ بِنْتَ عُمَرَ”, فَصَمِتَ
أَبُوْ بَكْرٍ فَلَمْ يَرْجِعْ إِلَيَّ شَيْئًا, وَكُنْتُ أَوْجَدَ
عَلَيْهِ مِنْ عَلَى عُثْمَانَ، فَلَبِثْتُ لَيَالِي, فَخَطَبَهَا
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْكَحْتُهَا إِيَّاهُ“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”. (HR. Al-Bukhari: 9/481-Al-Fath)
Imam Al-Bukhary memberikan judul bab untuk kisah ini dengan ucapan beliau, Bab: (Bolehnya) seseorang menawarkan putri atau saudara perempuannya (untuk dinikahi) kepada orang-orang yang baik”.
Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya. Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata, “Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholeh”, lalu beliau membawakan hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:
جَائَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَعْرَضُ عَلَيْهِ نَفْسَهَا
“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi).” (HR. Al-Bukhari: 2/246)Sisi pendalilan dari kisah ini adalah adanya taqrir (persetujuan) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap perbuatan wanita ini.
Peringatan:
Hendaknya hal ini (Yakni seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholih) tidak dilakukan kecuali oleh seorang wanita yang merasa aman dari fitnah demikian pula pihak lelakinya, sebagaimana amannya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan shahabiyah di atas dari fitnah. Dan di zaman yang penuh kerusakan seperti ini dimanakah kita bisa mendapatkan lelaki dan wanita yang merasa aman dari fitnah terhadap lawan jenisnya?! Karenanya, walaupun asal hal ini dibolehkan, akan tetapi di zaman ini hendaknya seorang wanita meninggalkan perbuatan seperti ini karena tidak jarang -bahkan inilah kenyataannya- kedua belah pihak terjatuh ke dalam fitnah yang besar tatkala seorang wanita menawarkan dirinya kepada lelaki yang dianggap sholih.
Fitnahnya bisa terjadi dari beberapa sisi:
1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Di sinilah awal kerusakan akan muncul.
2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki.
3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.
Berikut penyebutan adab-adab dalam pelamaran yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak:
1. Disunnahkan nazhor (memandang/melihat) kepada calon pinangan.
Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya seseorang yang mau menikahi seorang wanita untuk memandang kepadanya”. (Al-Mughny: 9/489)
Berikut beberapa dalil yang menunjukkan disunnahkannya bagi kedua belah pihak untuk saling melihat sebelum meneruskan pelamaran:
1. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:
إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ, فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوْهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ
“Jika
salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu
mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk
menikahinya maka hendaknya dia lakukan”. Jabir berkata, “Maka sayapun
melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyi-sembunyi
(tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang
membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”. (HR. Abu Daud (2082) dengan sanad yang hasan)2. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.
Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:
اِذْهَبْ فَانْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ يُؤْدِمَ بَيْنَكُمَا
“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”.
(HR. At-Tirmidzi no. 1087, An-Nasa`i: 6/69, dan Ibnu Majah no. 1866.
Potongan pertama dari hadits dikuatkan dalam riwayat Muslim: 2/1040 dari
hadits Abu Hurairah.)Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.
3. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
إِذَا
خَطَبَ أَحَدُكُمُ امْرَأَةً, فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ, وَإِنْ
كَانَتْ لاَ تَعْلَمُ
“Jika salah seorang di antara
kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat
kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya,
walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”. (HR. Ahmad: 5/424 dengan sanad yang shohih)Beberapa perkara penting yang berkaitan dengan nazhor:
1. Syarat-syarat dibolehkannya nazhor:
a. Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.
b. Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut. Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hukum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ ءَابَائِهِنَّ أَوْ ءَابَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّأَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ
بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ
أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ
الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا
يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ
تُفْلِحُونَز
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya,
dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah
mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah
suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami
mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka,
atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 30-31)Imam Ibnul Qoththon Al-Fasy berkata, “Jika sang pelamar wanita (pihak lelaki) telah mengetahui bahwa wanita tersebut tidak mau menikah dengannya dan bahwa wali wanita tersebut tidak menerima lamarannya, maka tidak boleh ketika itu dia (melanjutkan) memandang, walaupun dia tadi telah melamar. Karena dia hanya diperbolehkan untuk memandangnya sebagai sebab dari berlangsungnya pernikahan, maka jika dia sudah yakin akan penolakannya (wanita atau walinya) maka kembalilah (hukum) memandang (wanita yang bukan mahram) kepada hukum asal”. (An-Nazhor fii Ahkamin Nazhor hal. 391)
c. Tentunya nazhor ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berdua-duaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki. Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang dari khalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Umar radhiallahu anhu:
لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ
“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”.
(HR. At-Tirmidzi no. 2165. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Majah: 2/64 dari
Jabir bin Samurah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah
no. 430)2. Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat.
Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”. (Al-Mughny: 9/490)
Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).
Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.
Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.
3. Hukum nazhor tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.
Yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Malik bahwasanya boleh melakukan nazhor kepada calon pinangan dengan seizin atau tanpa izin dari wanita tersebut, hal ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’: 16/138. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”. (Al-Mughny: 9/489)
2. Berpenampilan sederhana dalam melamar.
Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.
Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu. (Riwayat ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf: 6/157 dengan sanad yang shohih)
3. Boleh bagi wanita yang akan dinazhor untuk berhias sekedarnya.
Dari Subai’ah Al-Aslamiyah -radhiallahu ‘anha- bahwa dulunya beliau adalah istri dari Sa’ad bin Khaulah lalu suaminya wafat (suami beliau wafat sedangkan beliau dalam keadaan hamil, sebagaimana yang nampak dari kisah) dalam haji wada’ dan beliau (suaminya) adalah badry (pasukan perang badar). Dan beliau melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suami beliau. Maka setelah itu, beliau ditemui oleh Abus Sanabil bin Ba’kak tatkala beliau sudah selesai nifas dalam keadaan beliau (Subai’ah) memakai celak mata -dalam sebagian riwayat, maka salah seorang dari kerabat suamiku menemuiku dalam keadaan saya sudah memakai khidhob dan berhias”-. Maka dia (Abus Sanabil) berkata kepadanya, “Kuasailah dirimu -atau ucapan semisalnya- mungkin kamu sudah mau menikah lagi, sesungguhnya waktunya adalah 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suamimu. Beliau (Subai’ah) berkata, “Maka saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan saya ceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, maka beliau bersabda:
قَدْ حَلَلْتِ حِيْنَ وَضَعْتِ حَمْلَكِ
“Engkau telah halal (untuk menikah) ketika engkau melahirkan”. (HR. Ahmad: 6/432 dengan sanad yang shohih.)‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”. (Adabul Khitbah waz Zifaf hal. 23)
4. Beristikhoroh.
Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:
مَا أَنَا بِصَانِعَةٍ شَيْئًا حَتَّى أَوَامِرِ رَبِّي
“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”.Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”. (HR. Muslim: 2/1048 dari Anas bin Malik)
Imam An-Nasa`iy memberikan judul bab untuk hadits ini dalam Sunannya (6/79), “Sholatnya seorang wanita jika dia dilamar dan dia beristikhoroh kepada Tuhannya”.
Adapun kaifiat dan do’a sholat istikhoroh, maka hal ini disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:
إِذَا
هَمَّ أَحَدُكُمْ بِالْأَمْرِ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ مِنْ غَيْرِِ
الْفَرِيْضَةِ، ثُمَّ لَيَقُلْ: ((اَلَّلهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ
بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدْرُ وَلاَ أَقْدِرُ, وَتَعْلَمُ وَلاَ
أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. الَلَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ
تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِيْ
وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلَ أَمْرِيْ وَآجِلَهُ-
فَاقْدُرْهُ لِي، وَيَسِّرْهُ لِي, ثُمَّ بَارِكْ لِي فِي دِيْنِي
وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلَ أَمْرِيْ
وَآجِلَهُ- فَاصْرِفْهُ عَنِّي، وَاصْرِفْنِي عَنْهُ, وَاقْدُرْ لِي
الْخَيْرِ حَيْثُ كَانَ، ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.
“Jika
salah seorang di antara kalian sudah berniat melakukan suatu perkara,
maka hendaknya dia melakukan sholat 2 raka’at yang bukan sholat wajib,
setelah sholat hendaknya dia bedo’a, [“Ya Allah, saya beristikhoroh
kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta kemampuan kepad-Mu dengan
kemampuan-Mu, dan saya meminta keutamaan-Mu yang Maha Agung. Karena
sesungguhnya Engkaulah yang menakdirkan dan saya tidak menakdirkan,
Engkau Maha Mengetahui sedang saya tidak mengetahui, dan Engkau Maha
Mengetahui yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara
ini baik bagiku untuk agamaku, untuk kehidupanku, dan untuk akhir
perkaraku -atau beliau berkata, “untuk perkaraku cepat atau lambat”-
maka takdirkanlah hal itu untukku, permudahlah untukku, kemudian
berkahilah aku di dalamnya”. Jabir berkata, “Kemudian dia menyebutkan
keperluannya”. (HR. Al-Bukhari: 3/58-Al-Fath)5. Sederhana dalam mahar.
Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.
Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya 4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:
عَلَى أَرْبَعَةٍ أَوَاقٍ؟! كَأَنَّمَا تَنْحِتُوْنَ الْفِضَّةَ مِنْ عُرْضِ هَذَا الْجَبَلِ
“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?! Seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini.” (HR. Muslim: 2/1040 dari Abu Hurairah)Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak. Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut. (Hal ini disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa`idy riwayat Al-Bukhari: 3/369 dan Muslim: 2/1041)
sUMBER: http://al-atsariyyah.com/adab-adab-melamar.html#more-3184
Tidak ada komentar:
Posting Komentar