Jawaban:
Harta haram terbagi dua[1]:
Pertama, haram pada dzat dan asalnya. Yaitu, harta yang memang asalnya adalah haram, seperti anjing, babi, atau berkaitan dengan kepemilikan orang lain, seperti barang curian dan hasil rampokan.
Pada harta seperti ini, para ulama bersepakat bahwa tidak boleh diterima berdasarkan keharaman dalam dzat harta tersebut dan karena keberkaitan dengan kepemilikan orang lain. Kesepakatan ulama tentang ketidakbolehan ini telah dinukil oleh Ibnu Abdil Barr dan selainnya[2].
Kedua, haram karena sifatnya atau sebab dalam mendapatkannya. Yaitu, harta yang didapatkan dengan cara haram, seperti hasil riba atau hasil judi.
Pada harta yang seperti ini, terdapat silang pendapat di kalangan ulama. Yang benar adalah boleh diambil, tetapi dengan mengingat bahwa sebagian ulama menganggap bahwa harta yang lebih didominasi oleh hal haram adalah lebih wara’ untuk ditinggalkan.
Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu ditanya tentang seseorang yang memiliki tetangga yang memakan riba secara terang-terangan, tetapi tidak merasa bersalah dengan harta yang buruk, lalu si tetangga itu mengajaknya dalam undangan makan. Ibnu Mas’ûd radhiyallâhu ‘anhu pun menjawab, “Penuhilah undangannya. Kenikmatan (makanan) adalah untuk kalian, tetapi dosanya adalah terhadap dia.” Dalam sebuah riwayat, si penanya berkata, “Saya tidak mengetahui sesuatu apapun yang menjadi miliknya, kecuali hal yang buruk atau hal yang haram,” tetapi Ibnu Mas’ûd tetap menjawab, “Penuhilah undangannya.”[3]
Imam Az-Zuhry dan Imam Makhûl berkata, “Tidaklah mengapa makan berupa (harta haram) selama tidak diketahui keharaman pada dzatnya.” Yang semisal dengan itu diriwayatkan pula dari Al-Fudhail bin ‘Iyâdh.[4]
Dalam hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, terdapat beberapa hadits yang menjelaskan bahwa beliau memakan berupa makanan orang-orang Yahudi dan bertansaksi dengan mereka, padahal orang-orang Yahudi telah diketahui, dalam uraian Al-Qur`an, bahwa mereka memakan riba dan harta haram. Di antara hadits-hadits tersebut adalah,
1. Hadits Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Beliau bertutur,
أَنَّ يَهُودِيَّةً أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ مَسْمُومَةٍ، فَأَكَلَ مِنْهَا…
“Sesungguhnya seorang perempuan Yahudi mendatangkan (daging) kambing, yang telah diracuni, kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau memakan (daging) itu ….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim]2. Hadits Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ. Beliau berkata,
تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَدِرْعُهُ مَرْهُونَةٌ عِنْدَ يَهُودِيٍّ، بِثَلاَثِينَ صَاعًا
مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam meninggal, sementara baji besi beliau tergadai di sisi seorang Yahudi dengan harga tiga puluh shâ’ jelay.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim]Berikut beberapa fatwa dari ulama kita seputar masalah yang ditanyakan. Di antaranya:
Syaikh Ibnu Bâz rahimahullâh, ditanya,
“Apakah Saya boleh meminjam (sesuatu) dari seorang yang perdagangannya dikenal dengan hal yang haram dan dia mengambil hal yang haram?”
Beliau menjawab,
“Engkau –wahai saudaraku- tidak pantas meminjam dari orang ini atau bermuamalah dengannya sepanjang (seluruh) muamalahnya adalah hal yang haram dan dikenal dengan muamalah riba yang diharamkan, atau selainnya. Maka, engkau tidak boleh bermuamalah dengannya tidak pula meminjam darinya, tetapi engkau wajib berbersih dan menjauh dari hal tersebut. namun, kalau dia bermu’amalah dengan hal yang haram, (tetapi) juga dengan hal yang selain haram, yakni bahwa muamalahnya ada terlihat yang baik, tetapi ada pula yang buruk, tidaklah mengapa (engkau bermuamalah), tetapi meninggalkan hal itu adalah lebih afdhal berdasarkan sabda (Rasulullah) shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ
“Tinggalkanlah segala sesuatu yang meragukanmu (menuju) kepada hal-hal yang tidak meragukanmu,”[5]Juga berdasarkan sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
مَنِ اتَّقَى الشُّبْهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ
“Barangsiapa yang menjaga dirinya terhadap syubhat, sungguh dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya,”[6]Juga berdasarkan sabda beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam,
الْإِثْمُ مَا حَاك فِي نَفْسِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ
“Dosa adalah apa-apa yang bergejolak dalam dirimu, sedang engkau benci bila manusia mengetahuinya.”[7]Jadi, seorang mukmin menjauhi hal-hal syubhat.
Apabila engkau mengetahui bahwa seluruh muamalahnya adalah haram atau dia berdagang dalam hal yang diharamkan, yang seperti ini tidak dilakukan muamalah dengannya, tidak pula boleh diambil pinjaman darinya.”
[Fatâwâ Islâmiyah 2/416]
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullâh ditanya,
“Seorang lelaki mengetahui bahwa sumber harta-harta ayahnya adalah berasal dari hal yang haram. Apakah dia boleh makan dari makanan ayahnya? Jika dia tidak makan dari makanan ayahnya, apakah hal tersebut merupakan kedurhakaan?”
Beliau menjawab,
“Orang yang mengetahui bahwa harta ayahnya adalah berasal dari hal yang haram, apabila (harta itu) haram pada dzatnya, yakni dia mengetahui bahwa ayahnya mencuri harta ini dari seseorang, dia tidak boleh memakan (harta) tersebut. Andaikata engkau mengetahui bahwa ayahmu mencuri dan menyembelih kambing ini, janganlah engkau memakan (kambing) tersebut dan janganlah engkau mematuhi undangannya. Adapun apabila (harta itu) adalah haram karena cara menghasilkannya, yakni dia melakukan riba, muamalah dengan menipu oleh (ayahmu), dalil untuk hal ini adalah bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam makan dari harta orang-orang Yahudi, padahal mereka dikenal mengambil riba dan memakan yang haram. (Juga bahwa) seorang perempuan Yahudi di Khaibar telah menghadiahkan (daging) kambing beracun kepada beliau agar beliau mati, tetapi Allah menjaga beliau hingga waktu yang telah ditentukan. (Juga bahwa) seorang Yahudi telah mengundang beliau untuk (memakan) roti dari jelay dan minyak yang baunya sudah berubah maka beliau memenuhi undangan dan memakan (roti) itu.
Beliau juga telah membeli makanan untuk keluarganya dari seorang Yahudi. Beliau dan keluarganya memakan (makanan) tersebut. Hendaknya (si penanya tetap) makan, dan dosa (ditanggung) oleh ayahnya.
[Liqâ Al-Bâb Al-Maftûh no. 188]
Syaikh Muqbil rahimahullâh ditanya,
“Apakah (boleh) menerima hadiah dari orang yang bekerja dalam hal yang haram, atau menyumbang untuk pembangunan masjid atau untuk amalan-amalan kebaikan lainnya?”
Beliau menjawab,
“Sikap wara’ (berhati-hati) dalam hal tersebut adalah tidak diterima, walaupun sebenarnya dosa (ditanggung) oleh pelakunya secara langsung sebagaimana yang telah berlalu. Kami mengatakan bahwa dosa (ditanggung) oleh pelakunya secara langsung karena Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bermuamalah bersama orang-orang Yahudi, padahal mereka bermuamalah secara riba. Kadang mereka mengundang Nabi n lalu beliau memenuhi undangan mereka, padahal mereka bermuamalah secara riba.”
[Tuhfatul Mujîb hal. 57-58]
Syaikh Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâny rahimahullâh ditanya,
“Seseorang menghadiahkan -misalnya makanan- kepada kami, padahal orang itu bekerja dengan pekerjaan yang halal dan haram. Apakah (Kami) boleh makan dari hadiah ini? Jika ke rumahnya, apakah (Kami) boleh memakan makanannya, sedang orang itu diharapkan kebaikannya?
Beliau menjawab,
Pertama, yang menjadi ukuran adalah pekerjaan halal atau haram yang mendominasi pada orang ini. Maka, yang dominan tersebut akan menjadi hukumnya. Jika yang mendominasi adalah yang halal, (harta)nya adalah halal, tetapi bila yang mendominasi adalah yang haram, (harta)nya adalah haram.
Kedua, anggaplah harta itu haram, seperti (harta) pimpinan bank atau pegawai lain yang tidak berpenghasilan lain, kecuali harta yang haram ini. Pertanyaan kami arahkan kepada orang seperti ini (si penanya). Jawabannya adalah bahwa siapa saja yang memakan dari makanan (orang tersebut) atau menerima hadiah (orang tersebut), hal itu dilihat kepada niatnya, (yaitu) niat orang yang memakan dan menerima hadiah. Apabila dia tidak menghendaki (apa-apa), kecuali bagian dunia dan hasil keduniaan, hal ini tidak diperbolehkan. (Namun), Apabila yang dia kehendaki adalah sebagai perantara dan wasilah untuk menyampaikan nasihat agar orang tersebut memperbaiki pekerjaannya, hal tersebut adalah perkarah yang diperbolehkan karena (adanya) maslahat yang hendak dicapai. Kita mengetahui bahwa Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam memakan dari makanan kaum musyrikin selama tidak ada hal yang haram secara syara`. (Juga) beliau memakan dari makanan Ahlul Kitab. Kisah perempuan Yahudi yang menyuguhkan lengan kambing untuk Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, padahal (perempuan) itu telah menyelipkan racun pada (kambing) itu (juga) merupakan (kisah) yang dimaklumi. Kisah tersebut shahih. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tidak membersihkan dirinya dari memakan makanan perempuan Yahudi ini. Kalau demikian, apabila seorang muslim makan dari makanan orang yang berpenghasilan haram, dan yang dikehendaki (oleh muslim tersebut) bukanlah harta, tetapi pendekatan kepada orang ini, itu bertujuan mendekatkannya kepada amar ma’ruf dan nahi mungkar.
[Silsilah Al-Hudâ Wan Nur, kaset no. 428]
[1] Ahkâm Al-Mal Al-Haram hal. 40-43 karya Dr. ‘Abbâs Al-Bâz, Mausû’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah pada pembahasan “Kasb” dan pembahasan “Mâl”, serta Majmû’ Fatâwâ Wa Rasâ`il Ibnu ‘Utsaimin 10/937-938.
[2] Sebagaimana yang tersebut dalam Jâmi’ Al-‘Ulûm wa Al-Hikâm hal. 138 karya Ibnu Rajab Al-Hanbaly rahimahullâh.
[3] Jâmi’ Al-‘Ulûm wa Al-Hikâm hal. 138.
[4] Jâmi’ Al-‘Ulûm wa Al-Hikâm hal. 137.
[5] Dikeluarkan oleh Ahmad, At-Tirmidy, An-Nasâ`iy, Al-Hâkim, dan selainnya dari Al-Hasan bin Ali hafizhahullâh.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari An-Nu’mân bin Al-Basyîr radhiyallâhu ‘anhu.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim dari An-Nawwas bin As-Sim’ân radhiyallâhu ‘anhu.
(sumber: http://dzulqarnain.net/hukum-menerima-pemberian-dari-harta-haram.html)
(sumber: http://dzulqarnain.net/hukum-menerima-pemberian-dari-harta-haram.html)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar