Senin, 10 Maret 2014

Apakah Istri yang Ditalak Raj’i Tetap Tinggal Serumah dengan Suami?

'Iddah Istri yang Ditalak

Saya memohon penjelasan tentang iddah istri yang ditalak. Apakah istri yang ditalak dengan talak raj’i1 tetap tinggal di rumah suaminya atau ia pergi ke rumah orangtuanya sampai suaminya merujuknya?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Wajib bagi istri yang ditalak raj’i untuk tetap tinggal di rumah suaminya dan haram bagi si suami mengeluarkan istrinya dari rumahnya, berdasarkan firman Allah l:

“Janganlah kalian (para suami) mengeluarkan mereka (para istri yang ditalak raj’i) dari rumah-rumah mereka dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Adapun sikap orang-orang pada hari ini di mana seorang istri bila ditalak dengan talak raj’i, dengan segera ia pulang ke rumah keluarga (orangtua)nya, hal ini jelas merupakan kesalahan dan perbuatan yang diharamkan. Karena Allah l berfirman:
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka.”
Allah l juga mengatakan:
“Dan jangan pula mereka (diperkenankan) keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Allah l tidak mengecualikan larangan di atas, terkecuali bila mereka (para istri yang ditalak) melakukan perbuatan keji yang nyata. Setelah itu Allah l berfirman:
“Itulah hukum-hukum Allah dan siapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.” (Ath-Thalaq: 1)
Lalu Allah l menerangkan hikmah dari kewajiban si istri tetap tinggal di rumah suaminya dengan firman-Nya:
“Engkau tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu perkara.” (Ath-Thalaq: 1)
Maka sudah sewajibnya bagi kaum muslimin untuk menaruh perhatian terhadap hukum-hukum Allah l dan berpegang dengan apa yang Allah l perintahkan kepada mereka. Janganlah mereka menjadikan adat /kebiasaan sebagai jalan untuk menyelisihi hal-hal yang disyariatkan. Yang penting, wajib bagi si wanita untuk memerhatikan masalah ini. Istri yang ditalak dengan talak raj’i wajib tetap tinggal di rumah suaminya hingga selesai iddahnya. Dalam keadaan/masa iddah tersebut si istri boleh membuka wajah/tidak berhijab di hadapan suami yang mentalaknya, tetap berhias dan mempercantik diri di depan suaminya, tetap memakai wangi-wangian, mengajak bicara suaminya dan suaminya berbicara dengannya. Boleh pula dia duduk-duduk bersama suaminya dan melakukan segala sesuatu terkecuali istimta’ (bernikmat-nikmat) dengan jima’ (senggama) atau mubasyarah (bersentuhan/bermesraan yang tidak sampai pada jima’). Karena istimta’ dengan jima atau mubasyarah hanya dilakukan ketika rujuk.
Si suami boleh merujuk istrinya (dalam masa iddah tersebut) dengan ucapan, ia katakan, “Aku telah merujuk istriku.” Sebagaimana ia boleh merujuk istrinya dengan perbuatan, dengan menggaulinya disertai niat rujuk.
Adapun tentang ‘iddah istri yang ditalak, kita katakan: Bila istri itu ditalak sebelum si suami dukhul dan khalwat yakni sebelum melakukan jima’, sebelum si suami berdua-duaan dengannya dan mubasyarah dengannya, maka sama sekali tidak ada iddah bagi si wanita. Dengan demikian, semata-mata talak dan ia pisah dari suaminya, berarti ia halal untuk dinikahi oleh lelaki lain.
Namun bila si suami telah dukhul dengannya, berdua-duaan ataupun menggaulinya, maka wajib bagi si istri untuk ber-’iddah. Tentang ‘iddahnya maka dilihat dari beberapa hal berikut ini:
Pertama: Bila ia dalam keadaan hamil maka ‘iddahnya sampai ia melahirkan kandungannya, baik waktunya panjang ataupun pendek. Bisa jadi, si suami mentalaknya pada waktu pagi dan sebelum dhuhur ternyata ia telah melahirkan kandungannya, yang berarti berakhir iddahnya. Bisa pula terjadi si suami mentalaknya pada bulan Muharram dan ia belum juga melahirkan kandungannya sampai tiba bulan Dzulhijjah hingga ia beriddah selama 12 bulan. Yang penting, istri yang hamil itu iddahnya dengan melahirkan kandungannya secara mutlak (tanpa melihat panjang pendeknya masa yang dijalani). Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri yang sedang mengandung berakhir iddah mereka dengan melahirkan kandungan mereka.” (Ath-Thalaq: 4)
Kedua: Si istri yang ditalak tidak dalam keadaan hamil dan ia masih mengalami haid (belum menopause), maka iddahnya tiga kali haid yang sempurna setelah ia ditalak. Dengan makna, ia ditimpa haid lalu suci, beberapa waktu kemudian ia haid lagi lalu suci, dan waktu berikutnya (kali yang ketiga) ia haid lagi dan suci. Inilah tiga haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang di antara ketiga haid tersebut atau tidak panjang. Berdasarkan hal ini, bila si suami mentalaknya dalam kondisi ia masih dalam masa menyusui bayi/anaknya dan ia tidak mengalami haid terkecuali setelah lewat dua tahun2 maka ia terus dalam masa ‘iddah sampai datang haid padanya sebanyak tiga kali sehingga ia menjalani masa iddah selama dua tahun atau lebih. Yang penting, wanita yang masih haid berarti iddahnya tiga kali haid yang sempurna, sama saja apakah masanya panjang ataulah pendek. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan istri-istri yang ditalak hendaknya menahan diri mereka (menjalani iddah) selama tiga quru3.” (Al-Baqarah: 228)
Ketiga: Si wanita tidak mengalami haid, bisa jadi karena usianya yang masih kecil sehingga haid belum menimpanya, atau karena sudah tua, telah mengalami menopause, maka iddahnya tiga bulan. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan wanita-wanita yang tidak haid lagi (menopause) dari istri-istri kalian (yang kalian talak), jika kalian ragu tentang masa iddahnya, maka iddah mereka tiga bulan, demikian pula wanita-wanita yang belum mengalami haid.” (Ath-Thalaq: 4)
Keempat: Bila si wanita tidak lagi mengalami haid karena suatu sebab yang diketahui bahwa haidnya tidak akan kembali padanya (maksudnya ia tidak akan mengalami haid lagi selama-lamanya) seperti rahimnya telah diangkat, maka wanita yang seperti ini disamakan dengan wanita yang menopause. Ia beriddah selama tiga bulan.
Kelima: Bila si wanita tidak mengalami haid dalam keadaan ia tahu apa yang menyebabkan haidnya tertahan, maka ia menanti sampai hilang penyebab yang menahan haidnya dan menanti haidnya kembali lagi. Lalu ia menghitung iddahnya dengan haid tersebut.
Keenam: Bila si wanita tidak mengalami haid dan ia tidak tahu apa penyebabnya maka para ulama mengatakan si wanita beriddah selama setahun penuh. Dengan perincian, sembilan bulan untuk masa kehamilan dan tiga bulan untuk iddah.
Demikianlah pembagian iddah istri yang ditalak.
Adapun wanita yang pernikahannya fasakh/dibatalkan dengan cara khulu’4 atau selainnya, maka cukup baginya menahan diri selama satu kali haid. Bila seorang istri meminta khulu’ kepada suaminya dengan ia atau walinya memberikan ‘iwadh kepada si suami agar si suami mau melepaskannya dari ikatan pernikahan, kemudian si suami meluluskan permintaan tersebut dengan mengambil ‘iwadh yang diberikan, maka cukup setelah perpisahan itu si istri menahan diri selama satu kali haid.
Allah llah yang memberi taufik. (Fatawa Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 2/797, sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah fil ‘Aqa’id wal Ibadat wal Mu’amalat wal Adab, hal. 1028-1030)

1 Talak yang bisa dirujuk dalam masa ‘iddah, yaitu talak satu dan dua.
2 Karena biasanya ibu yang sedang menyusui tertahan haidnya.
3 Tentang quru ini ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan haid dan ada pula yang mengatakan maknanya suci dari haid.
4 Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t dalam Fathul Bari menyatakan bahwa khulu’ adalah seorang suami melepaskan istrinya dari ikatan pernikahan, dengan cara si istri memberikan iwadh/sejumlah harta untuk menebus dirinya kepada suaminya.

Tidak ada komentar: